Diposkan pada Pendidikan

Pertanyaan Hipotetik Menolak Ajakan Merokok

Saat menyusun soal Penilaian Akhir Semester untuk kelas 8, saya tertarik untuk mengubah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada murid. Format pertanyaan saya buat dalam bentuk jawaban uraian. Sedangkan konten pertanyaan dibuat sedemikian rupa agar murid tidak langsung bisa menjawab hanya dengan mengandalkan informasi yang pernah mereka dapatkan dalam pembelajaran.

Misalnya, ketika membahas organ pernapasan manusia, terdapat informasi tentang pita suara. Informasi tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki pita suara yang berbeda-beda dalam panjang, lebar, dan tebalnya. Faktor inilah yang menyebabkan manusia memiliki suara yang khas, berbeda satu sama lain. Akan tetapi, ada orang-orang yang bisa meniru suara orang lain. Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dari sekian butir soal yang saya buat, saya paling menantikan jawaban untuk pertanyaan tentang zat adiktif. Materi zat adiktif yang saya pilih untuk masuk ke dalam soal adalah rokok. Pertanyaan yang saya ajukan sederhana:

Pada suatu hari, seseorang mengajak kamu untuk mencoba merokok dengan alasan mencoba pengalaman baru dan membuat kamu terlihat keren. Sebagai santri yang berkarakter, alasan apa yang akan kamu berikan untuk menolak ajakan tersebut:

a. Mencoba pengalaman baru

b. Membuat kamu terlihat keren Berikut adalah beberapa respon terpilih yang menurut saya layak dibagikan.

Banyak Pengalaman Baru Selain Merokok

Salah satu murid menjawab, “Merokok akan menjadi pengalaman yang buruk”. Dengan kata lain, pengalaman baru yang diasumsikan di dalam soal akan menjadi pengalaman menarik justru dianggap oleh murid tersebut akan menjadi pengalaman yang buruk.

Jawaban terbanyak mengarah pada, “Pengalaman baru itu banyak, tidak hanya merokok.” Di sini para murid mulai memiliki pemahaman bahwa ada banyak pengalaman baru yang bisa dicoba selain merokok. Sehingga ajakan dari orang lain untuk merokok dengan dalih mencoba pengalaman baru, benar-benar bisa dimentahkan.

Salah satu variasi jawaban yang muncul adalah adanya tambahan, “Kita bisa mencoba pengalaman lain yang lebih bermanfaat daripada merokok”. Selain perihal pengalaman, anak ini sudah terbuka pemahamannya bahwa ada asas manfaat yang harus dipertimbangkan saat memilih pengalaman baru. Dan merokok adalah salah satu pengalaman yang tidak memiliki asas manfaat menurut anak tersebut.

Variasi lain dari jawaban tersebut, adalah seorang murid yang menjawab “Tidak semua pengalaman baru harus dicoba.” Ini menandakan bahwa mencoba pengalaman baru adalah pilihan, bukan suatu kewajiban. Sehingga kita tidak perlu memaksakan diri untuk mencoba semua pengalaman baru. Dengan kata lain, ada prinsip prioritas dalam menentukan mana yang perlu dicoba dan mana yang tidak.

Terlihat Keren tak Berarti Keren

Terlihat dari berbagai jawaban murid yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sudah menyadari merokok itu tidak keren sama sekali. Misalnya, seorang murid menjawab, “Aku sudah keren, kok. Tidak perlu merokok untuk menjadi keren.” Jawaban ini menunjukkan rasa percaya diri tinggi yang perlu dimiliki oleh remaja agar tidak mudah terombang-ambing oleh ajakan orang lain.

Beberapa variasi dari jawaban ini misalnya jawaban seorang anak yang menghubungkan dengan status sebagai santri, “Dengan menjadi santri itu sudah keren.” Ada yang menghubungkan dengan kesehatan, “memang keren, tapi efeknya membuat kanker paru-paru,” dan “Yang ada bukan keren, malah penyakitan.” Ada juga yang menghubungkan dengan bakat, misalnya, “lebih baik menunjukkan bakat kamu agar terlihat keren.” Bahkan ada yang menghubungkan dengan prestasi akademik, seperti, “kerenan juga menghafal nahwu, sorof, fiqih dan khatam Al Quran.”

Melatih Pemahaman

Seperti yang saya temukan dalam buku karya Daniel J. Siegel, M.D. dan Tina Payne Bryson, Ph.D. yang berjudul The Whole-Brain Child: 12 Strategi Revolusioner Mendukung Perkembangan Otak Anak, salah satu cara melatih otak bagian atas anak agar bisa mengontrol otak bagian bawah adalah dengan memahami diri. Memahami diri bisa dilakukan dengan sesering mungkin mengajukan pertanyaan-pertanyaan hipotetik.

Hal itulah yang coba saya terapkan saat membuat pertanyaan untuk penilaian akhir semester: menghadapkan murid pada situasi yang masih hipotesis. Setelah itu mereka diminta untuk menentukan sikap, apa yang akan mereka lakukan jika A atau B. Jawaban yang muncul dari anak mungkin tidak sepenuhnya logis dan masuk akal. Bahkan terkesan hanya spontanitas belaka. Akan tetapi, jawaban-jawaban ini bisa menjadi dasar bagi kita para orang tua untuk membantu anak memahami diri mereka sendiri jika dihadapkan pada situasi yang benar-benar nyata.

Agar pemahaman itu melekat dengan kuat dalam otak anak, diperlukan diskusi yang intens dan berkesinambungan. Harapannya, jawaban tersebut lama-lama tertanam dalam bawah sadar anak dan saat mereka dihadapkan pada kondisi nyata, respon otomatis mereka akan sesuai dengan jawaban yang sering didiskusikan.

Lagi-lagi, kuncinya adalah konsisten.

Penulis:

Mendidik adalah Mewariskan

Tinggalkan komentar