Diposkan pada Pendidikan

Membujuk: Strategi Ketiga The Whole-Brain Child

Selain pembagian antara otak kanan dan otak kiri, para ilmuwan juga membagi otak menjadi otak bawah dan otak atas. Otak bawah merupakan bagian otak yang terdiri dari batang otak dan area limbik. Lokasinya mulai dari puncak leher sampai tulang atas hidung. Sedangkan otak atas merupakan korteks seberal yang melingkupi seluruh bagian atas kepala.

Otak bawah yang bersifat primitif kadang disebut juga otak reptil karena fungsinya semua berhubungan hal-hal primitif yang mendasar, seperti bernapas, mengedipkan mata, naluri, impuls, dan emosi-emosi kuat seperti rasa marah dan takut. Sehingga bisa disimpulkan bahwa “kemarahan anak muncul dari otak bagian bawah”.

Sementara itu otak bagian atas memiliki fungsi yang lebih berkembang. Di bagian ini terjadi proses mental yang kompleks seperti berpikir, berimajinasi, membuat rencana, membuat keputusan, berpikir kritis, logis, analitis, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “kemampuan anak untuk berpikir sebelum bertindak muncul dari otak bagian atas”.

Agar terjadi integrasi yang kuat antara otak bawah yang primitif dan otak atas yang canggih, orang tua perlu membangun “anak tangga”. Ketika anak tangga mental itu telah terbangun dengan baik, maka bagian otak terhubung secara vertikal sehingga otak atas mampu memonitor otak bawah.

Yang menjadi permasalahan adalah, karena berhubungan dengan fungsinya, otak bawah berkembang lebih dulu dibanding otak atas. Rata-rata otak bagian atas baru berkembang sepenuhnya di usia pertengahan 20-an. Sehingga sangat wajar jika anak-anak dan remaja kesulitan untuk mengelola emosi-emosi kuat yang muncul dari otak bawah. Dalam situasi tersebut, muncul fenomena “bertindak sebelum berpikir”, yang menunjukkan bahwa otak bawah mengendalikan proses mental. Sedangkan di usia dewasa, manusia sudah mampu “berpikir sebelum bertindak” karena otak atas sudah mulai menguasai proses mental.

Memanggil Otak Atas

Meskipun otak atas pada anak belum sepenuhnya berkembang, bukan berarti kita sebagai orang tua tidak bisa mengaksesnya sama sekali. Salah satu cara untuk memanggil otak atas anak adalah dengan membujuk, bukan memarahi.

Menurut Daniel J. Siegel, M.D. dan Tina Payne Bryson, Ph. D. dalam buku berjudul The Whole-Brain Child: 12 Strategi Revolusioner Mendukung Perkembangan Otak Anak , saat kita menghadapi situasi anak tantrum atau rewel, kita seringkali dihadapkan pada 2 pilihan. Pilihan 1, menggunakan otoritas kita sebagai orang tua untuk memerintah dan menuntut anak agar patuh. Biasanya pilihan ini disertai dengan berbagai ancaman. Misalnya, “habiskan makananmu atau kamu tidak boleh menonton tv”. Atau, “kalau kamu tidak mau memakai baju mu sendiri, kamu akan kami tinggal”.

Tetapi saat situasi sedang memungkinkan, kita juga bisa memilih pilihan 2. Yaitu memancing anak untuk mendapatkan lebih banyak respon berpikir. Hal ini bisa dilakukan dengan pernyataan empati di awal. Misalnya, “kelihatannya kamu keberatan ya dengan porsi makan yang besar ini?”

Dengan cara ini kita akan memancing proses berpikir anak, yaitu memikirkan seberapa besar porsi makan paling tepat bagi anak agar bisa dihabiskan. Orang tua dan anak akan saling bernegosiasi tentang seberapa besar porsi ideal. Sampai pada satu kesimpulan tertentu, didapatkanlah porsi makan ideal anak, yang direpresentasikan dalam bentuk angka (1 piring, setengah piring, 5 centong nasi, dan seterusnya). Berpikir menggunakan angka jelas adalah atribut otak atas.

Tentunya tidak semua kejadian tantrum anak bisa diselesaikan dengan bujukan dan negosiasi yang mengarah pada proses berpikir. Dalam kondisi tersebut, sangat wajar dan normal jika orang tua merasa kehilangan kendali dan kembali ke pilihan 1. Tidak ada yang salah dengan menggunakan pilihan 1. Karena setiap situasi selalu menuntut respon yang berbeda sesuai konteks yang berlaku.

Yang patut diingat adalah: tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang selalu berusaha yang terbaik untuk anaknya.

Penulis:

Mendidik adalah Mewariskan

Tinggalkan komentar