Diposkan pada Pendidikan

Kesulitan Merumuskan Target Pencapaian: Program Jajar-Wajar-Kejar

Hari pertama pembelajaran IPA kelas 8 di semester genap. Sesuai dengan yang saya rencanakan, saya mencoba menerapkan program Jajar-Wajar-Kejar. Awalnya saya antusias bahwa program ini bisa meningkatkan komitmen para murid dalam melakukan pembelajaran. Sayangnya antusiasme itu sedikit melemah di hari pertama.

Saya meyakini karena ini adalah percobaan pertama maka segala sesuatunya belum berjalan sesuai rencana. Seperti yang pernah dituliskan Simon Sinek: tetaplah ingat bahwa tidak ada rencana yang berjalan sepenuhnya sesuai dengan rencana. Dengan kata lain, sejak awal seharusnya saya mengantisipasi kemungkinan melesetnya rencana ini.

Dalam konteks program ini, setidaknya ada dua hal yang membuat rencana ini tidak sesuai dengan rencana awal.

Dua Temuan

Pertama, dalam pemahaman tujuan pembelajaran. Setelah memaparkan 5 tujuan pembelajaran utama yang harus dicapai di semester ini, saya meminta kepada mereka untuk menetapkan target pencapaian yang ingin diraih di setiap tujuan pembelajaran. Beberapa anak langsung kebingungan dengan istilah yang saya gunakan, yaitu “target pencapaian”. Akhirnya saya membuatnya menjadi lebih konkrit dengan memberi contoh “ingin memahami materi…” atau “ingin mendapat nilai IPA…”. Akibatnya, hampir semua target pencapaian yang mereka serahkan kepada saya sama dengan “template” yang saya berikan.

Kedua, dalam penyusunan jadwal belajar. Di kelas pertama ada 4-5 murid yang ingin mencoba belajar mandiri. Sisanya ingin belajar dengan cara diberi penjelasan oleh guru. Di kelas kedua, bahkan 100 persen murid ingin belajar dengan cara diberi penjelasan oleh guru. Dengan kata lain, ruang untuk menyusun jadwal belajar mandiri menjadi tertutup. Oleh karena itu saya memutuskan untuk tetap menggunakan metode belajar seperti biasa dengan selipan pesan agar mereka membuat jadwal belajar mandiri di asrama agar target pencapaian yang sudah ditetapkan bisa tercapai.

Remaja Awal yang Membutuhkan Struktur

Dalam refleksi pribadi saya tentang program ini saya ingat pada pelatihan kepemimpinan yang pernah diadakan oleh manajemen sekolah saya. Pada pelatihan tersebut manajemen mengundang Deputi Direktur Bidang SDM Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk menyajikan materi pelatihan kepemimpinan. Ada banyak poin yang disampaikan. Dan dalam konteks temuan yang baru saja saya dapati, sebuah pesan beliau kembali terngiang.

Dalam setting pendidikan, sebagai pakar SDM, beliau menyarankan agar murid-murid yang lebih muda (SD-SMP) sepenuhnya diarahkan oleh guru. Dengan persentase 70:30, 70 persen guru mengatur kegiatan pembelajaran, 30 persen kegiatan belajar yang tidak terlalu terstruktur. Sementara di jenjang SMA yang sudah mulai berjalan mekanisme regulasi diri, porsinya bisa diubah menjadi 50:50.

Pesan ini menjadi pengingat bahwa di jenjang sekolah yang saya tekuni guru harus tetap dominan memegang peran sebagai pengarah pembelajaran. Meskipun murid diberi kebebasan untuk memilih sendiri cara belajarnya, guru harus berperan mengawal agar cara belajar yang dipilih murid mengarah kepada tujuan yang sama.

Karena persentase yang memilih belajar mandiri sangat kecil sekali, maka saya memutuskan untuk menjadi pengarah utama dalam pembelajaran. Sehingga bagian Wajar (jadwal belajar) dalam program ini sementara saya kesampingkan dulu. Tentunya dengan pertimbangan di tengah jalan menemukan cara lain untuk memancing kemandirian belajar murid. Karena pada akhirnya memupuk generasi pembelajaran sepanjang hayat adalah tentang memupuk generasi yang mandiri. Dan murid yang mandiri akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap target pencapaian yang sudah dicanangkannya.

Penulis:

Mendidik adalah Mewariskan

Tinggalkan komentar